Dimarahin

22 Mei 2015

Pengalaman baru terjadi di hari ini. Awalnya, sih, biasa. Sekolah lancar. Ketawa bareng temen, dan ada sukacita. Tanpa sepengetahuan, tiba-tiba hari ini OSIS mengadakan sponsorship. Oke, aku bisa. Setelah dibagi per tim, timku kebagian sponsor di daerah Solo ujung sendiri. Jauh dari Karanganyar.

"Perusahaannya ini dimana tempatnya?"
"Enggak tahu. Biasanya Reyhan tahu. Manut sama dia."

Ada sekitar enam perusahaan yang akan kami datangi. Tapi tidak semua perusahaan kami tahu letaknya. Alhasil beberapa jam kita muter-muter mencari setiap alamat perusahaan. "Udah jam empat sore. Apa dibagi aja. Aku, Khevin, Wanda, Aul ke tiga perusahaan arah Jl. Slamet Riyadi. Lainnya ke arah Sukoharjo." Kata Deva.

Waduh, sudah sore dan masih berada di Solo. Kita muter-muter cari letak sponsor, ditolak, laper, dan sepertinya matahari enggan menunggu. Cahayanya mulai redup dan kami berempat mampir ke sebuah hik kecil di Jl. Slamet Riyadi.

"Cuma dapet satu perusahaan aja ditolak. Yaampun, aku udah ditelepon oragtuaku suruh pulang. Udah jam setengah enam belom perjalanan pulangnya nanti." Otomatis aku cemas.
"Yaudah sampai sini dulu aja. Habis ini kita pulang. Hla piye bapakmu? Dimarahin?" Tanya Deva
"Bau-baunya sih iya. Enggak apa apa. Habis ini kita pulang."

Waktu pulang, jantunngku benar-benar berdegub kencang. Bukan jatuh cinta. Tapi takut dengan amarahnya bapak gara-gara aku pulang terlalu sore. Spontan, aku tambah kecepatan sepeda motor setelah mengisis bensin. Dan ini resiko yang harus aku ambil. Menjadi OSIS dan banyak tenaga, waktu, materi yang harus dikorbankan. Harapannya semua itu bermanfaat untuk kehidupanku kelak.

Sampai di rumah, hal itu terjadi. Bapak langsung melempar amarahnya saat aku baru saja turun dari motorku. Padahal ada tetangga sedang di luar rumah. Malu. Tapi aku tahu aku salah dan sudah aku jelasin semua. Cuma bapak enggak mau tahu. Malah mengancam aku enggak boleh naik sepeda motor lagi. Aku sih Nevermind. Beruntung marahnya enggak gede kaya waktu aku masih kecil.


23 Mei 2015

Hari sabtu. Pagi-pagi sudah dicuekin bapak. Oh ternyata marahnya bapak sekarang gitu. Dua hari enggak ada uang saku. Terpaksa aku pinjam uang buat jajan. hihihi. Jangan ditiru. Untungnya, aku adalah bendahara yang selalu membawa uang kas. Ya, terpaksa aku pinjam dulu, tapi aku balikin kok uangnya.

Malam setelah pulang dari gereja, ibu cerita tentang bapak. "Kemarin gimana?"
"Enggak gimana-gimana." Jawabku
"Bapakmu itu bilang kalau Wanda sekarang manja, enggak mau bantu-bantu, mulai berani sama orang tua. Emang kamu kenapa sama bapak?"
"Enggak kenapa-kenapa. Enggak tahu kenapa bapak bilang gitu. Kemarin pulang sore aku dimarahin tapi aku enggak nglawan.Itu, tanya sama Wiwin. Padahal aku di rumah juga sering nyetrika, nyapu, cuci piring. Terus, aku jarang minta banyak sama ibu bapak. Kalau ada kebutuhanku yang kurang ya aku mencukupi sendiri. Jarang minta." Ucapku marah. Sakit, donk, dibilang seperti itu. Aku sudah selalu nurut dan enggak nuntut banyak. Bahkan, aku juga jarang main buat bantu orangtua. Aku berusaha mencukupi kebutuhanku sendiri tanpa harus merepotkan orangtua, tapi dengan usahaku sendiri.

Hanya gara-gara pulang terlalu sore, sampai segitunya?


24 Mei 2015

Bapak masih cuek denganku. Serasa aku bukan anaknya lagi. Dan kali ini aku benar-benar sakit hati. Rencannya aku mau minta maaf buat kejadian dua hari lalu. Tapi gara-gara omongan ibu kemarin, aku benar-benar tak kuasa untuk minta maaf. Aku enggak mau. Sudah sakit ini hati. Dekat sama baak pun rasanya kaya diiris tipis-tipis hatiku ini.

Huffttt... Ngerasa bersalah. Tapi hatiku sudah terlanjur terluka. Tuhan aku mohon pulihkan.

Komentar

Postingan Populer