Didikan Bapak Untukku

Aku mau bercerita bagaimana bapak mendidikku dengan sedikit keras.

Ya, aku anak pertama dari tiga bersaudara. Perempuan semua. Aku rasa aku diciptakan memang untuk sedikit tahan banting haha. Dimulai dari kandungan ibuku, aku dengar dari ibuku kalau aku sudah kuat dari kandungan.

"Dulu pas ibu hamil kamu, ibu jatuh dari motor, tapi kamu gapapa dan gak keguguran. Bahkan gak keluar darah sama sekali.." ucap ibuku masih terheran sampai sekarang.

"Dulu juga ibu kerja kantoran sampe malem-malem pas kamu masih di perut.." jelas ibu. "Kuat bange kandungannya.." lanjut ibu.

Saat masih bayi, kata orangtuaku, aku tak pernah takut pada siapapun. Tak pernah rewel diajak siapapun. Pernah suatu ketika, tanpa bilang orangtuaku, aku diambil dan diajak main di rumah tetanggaku. Orangtuaku sampai kebingungan mencariku, ternyata aku ada di dalam kamar tetanggaku, tanpa rewel sedikitpun.

"Dulu kecil kamu tuh gampang diculik. Sama siapa aja mau." kata orangtuaku. "Kamu juga kalau difoto mesti banyak gaya, eksis. Didandani kaya gimana mau mau aja, nurut banget. Rapi. Harus pake sepatu kalau keluar rumah, rambunya dikucir lucu dan cantik." sambung orangtuaku. Sepertinya memang iya, aku lihat masa-masa kecil di foto. Lucu juga ya.

Saat bayi pula, aku pernah diminta saudara jauh dari bapak untuk diasuh dan menjadi anaknya. Tapi karena aku anak pertama jadi tak mungkin diserahkan. Aku selalu diberi fasilitas sedari bayi, walau terbatas. Aku tumbuh jadi anak yang berani, tak takut apapun, lucu, gendut, menggemaskan, penurut, cerdas karena jarang menangis rewel dan banyak tanya. Katanya...

Saat umurku tiga tahun, adikku lahir. Aku tumbuh bersama adikku. Adikku ini nangis kalau di foto dan sedikit penakut. Diajak orang lain pasti tak mau. Sedikit-sedikit menangis dan ringkih (gampang sakit). Kemana-mana pun pasti selalu di belakangku sambil memegang bajuku.

Dulu aku sering sebel sama adikku karena di gereja dia selalu dibelakangku. Tak pernah berani sendiri. Tak pernah mau dipisah karena alasan takut, malu sama orang lain. Aku risi dan sempat marah. Tapi sebagai kakak, aku berusaha untuk jaga adikku. Aku jadi makin berani, karena aku merasa harus jaga adikku.

Dari sini aku rasa didikan bapak ke aku dan adikku berbeda. Didikan bapak itu keras, mungkin karena dulu bapak juga dididik keras. "Lempar batu aja kalau ada yang berani sama kamu.." kata bapak. Dan itu benar-benar kulakukan. Aku pernah melempar batu besar ke kepala tetanggaku (cowo) yang usianya lebih besar dari aku.

Aku beberapa kali melihat bapak marah sama orang lain. Aku melihat bapak marah ke ibu dan memecahkan piring. Aku selalu melihat amarah di diri bapak. Apalagi saat beliau merasa diremehkan harga dirinya. Aku melihat bapak kekurangan kasih. Apa karena beliau merasa gagal dalam hidup?

Sering pula aku dimarahin hanya karena tidak taat sedikit. Misal karena aku hujan-hujan. Sering daun telingaku ditarik dan aku di seret ke kamar mandi, kemudian di siram dengan air dingin dan dikunci di kamar mandi. Itu hal yang begitu membekas.

Pernah pula aku dimarahin habis-habisan saat nilaiku nol. Dipukul, di jewer, di seret sudah seperti biasa, dikata-katain sama orangtuaku juga pernah gara-gara salah beli makanan. Mau tau dikatain apa? goblok, katanya haha. Aku cuma bisa diem waktu itu. Mau bagaimana lagi? Masih kecil. Untung semakin gede, kata-kata negatif itu tak pernah terucap. Hanya saja, sampai sekarang aku masih dibilang pemalas dan gak mau bantu-bantu kerjaan rumah walau aku sudah lakukan itu dan berusaha di tengah kesibukanku. Aku selalu dicap anak yang suka memberontak. Padahal aku selalu berusaha menuruti kata orangtuaku.

Berlanjut sampai SMA. Aku pernah ada kegiatan OSIS dan harus pulang jam enam sore. Dimarahin habis-habisan dan didiamkan hingga satu minggu. Tidak diijinkan membawa sepeda motor. Uang saku mepet. Untung dari SD aku berusaha dapat nilai yang bagus, ya karena takut dimarahin. Untung dari SD aku juga tak pernah malu berjualan di sekolah, jadi bisa dapet uang jajan sedikit. Mana ada kata "main" dalam hidupku. Di giring untuk terus belajar, jadi anak baik dan nurut, gak boleh main sana-sini, besok gede harus kerja mapan. Sampai sampai aku merasa tak punya teman. Gimana lagi, pulang sekolah jam dua, belum lagi kegiatan OSIS. Harus sampai rumah sebelum jam lima sore. Hari minggu ke gereja, mau main ke Solo kota kata orangtuaku kejauhan. Mana boleh aku nongkrong atau ke mall dengan teman-teman? Kata orangtuaku, itu gak baik, nanti terpengaruh sama orang-orang yang gak bener. Tapi aku dituntut buat banyak relasi.

Pas aku melihat didikan bapak ke adikku, aku rasa ada yang berbeda. Adikku dari dulu entah mau nilai bagus atau jelek, tak pernah kena marah. Dia peringkat 20-an di sekolahnya, tak pernah dimarahin. Maklum, mungkin karena adikku setiap mikir sedikit pasti langsung jatuh sakit. Orangtuaku tak pernah menuntut adikku untuk berprestasi di sekolah. Aku bisa memaklumi waktu itu.

Lain cerita lagi, adikku selalu diperbolehkan main kemana pun. Waktu SMA, dia sudah main kemana-mana. Aku heran, dulu SMA saja aku pulang sedikit sore, atau ketahuan main jauh saja sudah kena omelan. Sudah dibilang gak taat, ngeyelan. Tapi kenapa adikku selalu boleh? Tapi aku mencoba positive thinking. Adikku ini kalau tidak happy pasti sakit, mungkin kalau terlalu di kekang dia bisa jatuh sakit lagi. Adikku ini kalau di rumah terus malah pusing, makanya orangtuaku selalu mengijinkan dia main.

Sampai sekarang..
"Mbak, kok kamu sering dimarahin bapak ya? Kok aku jarang?" kata adikku suatu saat pas aku kena marah karena bangun siang. Padahal Aku dan adikku sama-sama bangun siang, lebih siang adikku malah, tapi yang dimarahin hanya aku. Menurut bapak, bangun jam 7 pagi sudah sangat siang sekali. Perempuan harus bangun pagi, harus bisa masak, harus bisa beresin rumah, harus pinter cari duit sendiri.

"Gak tahu, Win. Dimata bapak kayanya aku selalu salah.."

"Aku boleh main kesana kesini, kok kamu jarang dibolehin ya?" lanjut adikku.

Aku tidak tahu bagaimana bapak memandangku. Mungkin baik, untuk kebaikan dan masa depanku kelak. Tapi aku juga butuh kebebasan, aku butuh hidup, aku butuh keluar. Pernah bapak bilang ke ibu, "Wanda gak usah nge kos. Nanti kebebasan dia.." hhh seakan-akan aku bebas sedikit aja gak boleh. Semakin kesini aku merasa, hidupku adalah hidup orangtuaku. Aku mau buka usaha saja bapakku tidak yakin. Aku ada di dunia komunikasi saja bapakku juga tidak begitu suka, katanya bapak gak suka aku ada di dunia media. Maunya aku jadi orang kantoran yang jelas kerjaan dan gajinya. Yang bisa pulang tepat waktu dan beresin rumah.

Berulang kali aku debat dengan bapak, tapi apa daya bapak selalu merasa benar. Pernah juga dibantu adikku yang selalu tak tega melihatku disalahkan. Aku bersyukur punya adik yang selalu membantuku untuk bisa merasakan kebebasan tanpa kena marah bapak.

Pernah waktu itu bapak bilang "Kamu satu-satunya harapan bapak." sambil menunjukkan jari telunjuknya kepadaku.

"Bapak gak bisa ngandelin adikmu. Kamu yang harus sukses, bisa mengangkat derajat keluarga, bapak gak mau kamu gagal kaya bapak."

Aku tahu, aku harapan. Tapi kadang jadi beban juga. Serasa tak boleh ada kegagalan dalam hidupku. Apalagi dengan didikan seperti itu. Aku tahu rasanya dididik secara keras dari fisik hingga mental.

Sebenarnya aku cuma mau bapak percaya sama aku. Aku juga manusia yang punya hidup, bukan hanya untuk kerja. Butuh main, butuh senang di masa muda. Kalau bapak mau lihat aku sukses dan bisa menghasilkan uang yang lebih dari cukup, coba percaya ke anak sendiri untuk menjalani hidupnya sendiri. Aku selalu mencoba mengenalkan duniaku ke bapak, tapi sellau dihakimi. Masalah pekerjaan, percintaan, pertemanan, dan apapun dalam hidupku cukup kenali dan percaya. Aku rasa, ketakutanku muncul dari orangtuaku. Selalu berusaha baik-baik saja dihadapan mereka, selalu merasa kuat dan berani di hadapan adik-adikku.

Aku tahu, bapak ibu hanya khawatir dan terlalu memikirkan masa depanku, tapi tolong ingatlah anakmu ini punya masa anak-anak dan masa muda. Masih manusia yang sewaktu-waktu bisa gagal dan butuh dukungan, bukan hukuman.

Aku tahu, itu bentuk sayang orangtuaku. terima kasih sudah mendidikku sekeras ini. Pura-pura menjadi keluarga yang harmonis dan baik-baik saja. Terima kasih diam-diam sudah bangga terhadap anaknya walau tak pernah sekali pun memuji hasil kerja kerasku selama ini di hadapanku. Aku selalu menyayangi mereka, walaupun banyak hal berat yang harus kujalani. Karena mungkin, mereka tahu aku adalah perempuan yang kuat.

Komentar

Postingan Populer